Permintaan itu sempat membingungkan para Jenderal. Bukankah mereka yang mampu memberi perlindungan? Tapi pikiran Sang Kaisar rupanya sudah lebih dulu melesat jauh ke depan. Menurutnya, Jepang telah jatuh, dan itu dikarenakan mereka tidak belajar. Mereka memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang, tapi nyatanya tidak tahu cara membuat bom yang dahsyat. Jika tidak segera belajar, mereka tidak mungkin bisa mengejar ketertinggalan dan mampu bangkit lagi.
Pandangan senada diutarakan Bung Karno terkait menyebarnya gagasan fasis Nazi dalam situasi Perang Dunia II. Faham itu dikuatirkan bisa menghancurkan peradaban manusia, menghancurkan demokrasi, menghancurkan jiwa kejujuran. Tapi dalam artikel berjudul “Guru di Masa Kebangunan” yang dibacakan pada kongres Perguruan Taman Siswa, Bung Karno tegas menyatakan sikap optimisnya, “Selama guru masih ada, peradaban manusia tidak akan hancur.”
Uraian di atas sedikitnya memberi gambaran, betapa penting peran guru dalam menciptakan peradaban, membentuk manusia-manusia seutuhnya yang berbudi dan memiliki ilmu pengetahuan.
Faktanya, dengan memaksimalkan peran guru sebagai ujung tombak kebangkitan, Jepang berhasil menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahun. Padahal dengan kehancuran yang dialami, dunia meramalkan kebangkitan itu bisa memakan waktu hingga 50 tahun. Demikian halnya dalam perjalanan bangsa ini, peran guru begitu nyata sejak perjuangan merebut kemerdekaan hingga upaya menyiapkan generasi berpikiran maju yang mengisi pembangunan.
Sedikit menoleh pada catatan sejarah, kita tahu hingga permulaan abad 20 bangsa ini masih sangat terpuruk akibat praktik kolonialisme. Dalam banyak tulisan bahkan digambarkan, kaum bumiputra sudah sangat lelah dan makin tak berdaya melakukan perlawanan atas segala penindasan yang sudah berlangsung berabad lamanya. Hal itu memunculkan keprihatinan tak hanya dari kalangan petinggi dalam negeri, juga dari kalangan Belanda sendiri. Seorang ahli hukum Belanda, Conrad Theodore van Deventer, menulis sebuah artikel berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan), yang diterbitkan majalah De Gids pada tahun 1899. Yang dimaksud adalah hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim. Tulisan itu menjelaskan kepada public Belanda, bagaimana Negara mereka telah dimakmurkan dari hasil kolonialisasi di wilayah jajahan Hindia Belanda (Indonesia). Sementara Hindia Belanda masih sangat miskin dan terbelakang. Maka sudah sepantasnya, menurut Deventer, jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Dari gagasan Deventer itu tahun 1901 pemerintah Belanda memberlakukan politik etis (politik balas budi), dengan tiga program pokok (edukasi, irigasi, dan transmigrasi) yang dikenal dengan sebutan trias politica atau trias van Deventer. Dikutip dari Encyclopedia Britannica (2015), kebijakan tersebut diharapkan bisa membawa perubahan besar berupa kemajuan di Hindia Belanda, tapi pencapaiannya jauh dari harapan. Dalam pelaksanaannya, semua tetap bermuara pada kepentingan pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Kondisi itu telah melahirkan kelompok elit baru, kaum muda terdidik yang sadar jatidiri dan memiliki kepedulian pada bangsanya. Lalu apa yang paling utama dikampanyekan para elit yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan itu? Pemerataan di bidang pendidikan!
“Rakyat harus cerdas. Rakyat harus pandai kalau negeri ini mau terbebas dari penjajahan.” Itulah yang selalu digaungkan dr. Wahidin Soedirohoesodo, dalam upayanya menggalang studie fond (dana pelajar) bagi rakyat yang tidak mampu. Dengan kata lain, kepada guru juga mereka menggantungkan harapan. Sebagai aktor utama di lembaga pendidikan, gurulah sosok yang paling dipercaya untuk bisa membangkitkan kembali rasa harga diri bangsa, rasa nasionalisme, hingga mampu mengobarkan semangat juang yang sangat dibutuhkan pada masa itu.
Guru yang dalam akronim Jawa “yang digugu lan ditiru” (didengar dan diteladani) memang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sosok maupun kedudukannya. Kita mengenal berbagai sebutan untuk guru, mulai ki (Jawa), Ajengan (Sunda), Buya (sumatera Barat), Dea Guru (Sumbawa), atau Mu’allim dan Murabbi dalam literatur Islam, dan sebagainya. Dari sebutan-sebutan itu guru tidak bisa dimaknai secara sempit hanya sebagai orang yang bertugas mengajar atau memberi pelajaran. Sebutan-sebutan itu lebih mengacu keagungan sifatnya sebagai pribadi teladan, sebagai orang berilmu yang tak segan memberi pengetahuan, mengayomi, serta memiliki keikhlasan. Itu sebabnya guru disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Bung Karno menyebutnya sebagai “Rasul Kebangunan''.
Kata ‘Guru’ sendiri yang berasal dari bahasa sanskerta secara etimologi terdiri dari dua suku kata yaitu Gu artinya gelap dan Ru artinya cahaya atau terang. Maka secara harfiah guru memiliki arti orang yang memberi cahaya (pengetahuan) untuk mengusir kegelapan atau kebodohan. Dalam Wikipedia encyclopedia dinyatakan “A guru (Sanskrit: गुरु) is a person who is regarded as having great knowledge, wisdom and authority in a certain area, and uses it to guide others”. Jadi guru adalah seseorang yang dihormati karena pengetahuannya, kebijaksanaannya, kemampuannya memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangannya menuntun orang lain.
Dari banyak gelar kehormatan yang disandang memanglah tidak mudah untuk menjadi guru yang sebenar-benarnya guru. Maka banyak pula pendapat yang mengatakan, bahwa menjadi guru adalah panggilan kesadaran sejati, bukan pilihan. Masih dalam artikel yang sama “Guru di Masa Kebangunan” Bung Karno menyebutkan, ada tiga ruh yang harus dimiliki seorang guru, yaitu ruh kerakyatan, ruh kemerdekaan dan ruh kelaki-lakian (kesatriaan). Ketiga ruh itu harus mendasari jiwa para guru sebagai wahyu penghebat hidup, sebagai wahyu cakraningrat yang bersemayam di sukma mereka.
“Satu bangsa akan kehilangan rasa peri kemanusiaannya dan tidak akan kembali untuk puluhan atau ratusan tahun, apabila guru-guru di perguruannya hanya tahu mengajar menulis dan menghitung saja. Hanya guru yang memiliki jiwa Kebangunan yang dapat menurunkan Kebangunan ke dalam jiwa anak”. (Bung Karno)
Ki Hadjar Dewantoro yang dalam ajarannya menekankan prinsip Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) kemudian merumuskan sosok guru itu lewat semboyannya: Ing ngarsa sung tuladha, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
Ing ngarsa sung tuladha; Ketika berada di depan seorang guru harus mampu menjadi teladan yang baik bagi para anak didiknya. Ing madya mangun karsa; Ketika berada di antara siswa guru harus mampu memberikan inspirasi dan motivasi, hingga anak mampu memandang masa depan dengan pikiran-pikiran positif. Tut wuri handayani; Ketika berada di belakang maka guru memberikan dorongan atau dukungan moral kepada siswa yang sudah lebih maju.
Tapi setiap fase dalam sejarah memiliki masanya sendiri, dan setiap masa memiliki tuntutannya sendiri. Pada era modern ruang gerak guru sangat terkait dengan lembaga atau sekolah, yang notabene terkait pula dengan beragam kebijakan yang melingkupinya. Satu rezim tumbang, rezim lain tumbuh dengan dengan perubahan dan berbagai kebijakan baru.
Pada awal kemerdekaan, pendidikan Indonesia lebih menekankan kepada bagaimana menanamkan rasa nasionalisme dan berjiwa patriotisme untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah Pemberontakan G30S/PKI berhasil dipadamkan, terjadilah peralihan dari demokrasi terpimpin ke demokrasi Pancasila. Era tersebut dikenal dengan nama Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Dilansir dari kemendikbud.go.id, Kebijakan di bidang pendidikan di era Orde Baru cukup banyak dan beragam, mengingat orde ini memegang kekuasaan cukup lama yaitu 32 tahun. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kewajiban penataran P4 bagi peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui OSIS, Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan atau EYD, kuliah kerja nyata (KKN) bagi mahasiswa, merintis sekolah pembangunan, dan lain-lain.
Seiring tumbangnya rezim Soeharto, tahun 1998 bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Tentu saja perkembangan ini pun membawa perubahan. Begitu seterusnya sampai kita masuk pada masa di mana para petinggi menggaungkan gerakan revolusi mental, yang kemudian dibarengi munculnya musibah global covid-19. Semua perubahan sudah pasti berimbas pada kebijakan di bidang pendidikan.
Sulit bagi kita untuk menilai kebijakan mana yang bisa disebut paling tepat dalam merespon setiap perubahan. Tetapi bagi guru atau pendidik, bagaimanapun situasi dan kondisinya, mereka tetap harus berdiri di muka kelas, berkonsentrasi dan berinteraksi dengan para murid untuk menyampaikan pelajaran. Tak ada kata menyerah, tak ada alasan untuk terkendala. Proses pendidikan harus terus berjalan. Itulah yang kemudian memunculkan banyak goresan cerita, yang tentu bisa diambil hikmahnya. Buku ini khusus mengetengahkan kisah perjalanan para guru yang telah melampaui masa pemerintahan 6 presiden selama masa baktinya.
Penulis: Cici Ilyas